Perdebatan Teologi Seorang Santri

ANTARA ADA DAN TIDAK ADA

Perdebatan para santri di sebuah pesantren di Kediri, Jawa Timur berakhir tanpa keputusan. Biasanya perdebatan demikian pasti berkaitan soal teologi.

"Kalau seandainya seorang Mukmin membaca Laa Ilaaha Illallah di akhir hayatnya, tetapi baru sampai Laa Ilaaha...(tiada Tuhan), apakah matinya mukmin atau kafir?" tanya seorang santri mengawali perdebatan.
Pertanyaan ini tentu menggemparkan hadirin yang sedang berdiskusi. Mereka berdebat seru sampai akhirnya seorang ustadz turun tangan.

"Menurut saya, ya, dia mati kafir....!"
Tapi perdebatan tidak berhenti di situ, karena para santri masih terus mengalami kemuskilan.
"Lho, pak ustadz, dia niatnya kan sudah membaca Laa Ilaaha Illallah, kalau tidak selesai itu bukan urusan dia, yang penting kan Allah melihat hati hamba-Nya, bukan ucapannya," sergah santri lain.

"Tapi kita kan harus menghukumi yang bersifat formalnya, bukan dalamnya, kita hukumi lahiriyahnya, soal rahasia batin orang itu, bukan urusan kita. Tapi urusan Allah,"jawab sang ustadz.
di sudut tempat itu, ada seorang penjaja kue yang menyimak dengan asyiknya majelis diskusi kaum santri. Spontan ia pun nyeletuk. "Maaf Pak Ustadz, saya boleh tanya?"

"Tanya apa?"
"Lebih dulu mana, usia Ada dengan Tiada itu?"

Suasana forum benar-benar senyap dengan pertanyaan tukang kue itu. Semua terdiam. Pertanyaan yang sangat dalam dan mengandung dimensi filsafat sufistik yang menembus wilayah tanpa batas.

"Ya..ya...lebih dulu Ada...!"kata sang ustadz.
"Kalau begitu, dia mati dalam keadaan muslim. Sebab yang tergambar adalah Adanya Allah. Kalau kata tidak ada , pasti hakikatnya Ada juga."

Semua hadirin mengiyakan penjelasan penjaja kue itu. Para santri pun puas karena merasa ada yang menolong. Dan si pedagang kue itu nyelonong pergi begitu saja, tanpa diketahui rimbanya
Previous
Next Post »
Posting Komentar
Thanks for your comment