Opini Denny Indrayana Detik: Lima Faktor Membaca Pilgub Jakarta 2017 & Meneropong Pilpres 2019

Lima Faktor Membaca Pilgub Jakarta 2017 & Meneropong Pilpres 2019

Oleh: Denny Indrayana


Sejak dulu, bobot Pemilihan Gubernur DKI Jakarta selalu jauh di atas pilgub provinsi lainnya di tanah air. Apalagi setelah Presiden Joko Widodo mencatatkan sejarah bahwa beliau menapak tangga selaku Gubernur Jakarta sebelum menjadi presiden, maka harga politik gubernur ibukota negara makin naik tajam. Maka, wajar jika Pilgub Jakarta 2017 menjadi tolak ukur kemana dan bagaimana pertarungan politik pilpres 2019.

Tentu banyak faktor lain yang mempengaruhi meroketnya nilai Pilgub Jakarta. Faktor ibukota negara tidak terbantahkan menyebabkan Jakarta selalu menjadi magnet lebih. Itu sebabnya, pada Pilgub 2012, kepala daerah dari Sumatera Selatan dan Solo memilih ikut bertarung di Jakarta. Bahkan, mantan Ketua MPR Hidayat Nur Wahid rela turun gelanggang, serta ekonom tenar Faisal Basri juga ikut bertanding. Faktor lain, pusat politik dan ekonomi Indonesia memang berpusat di Jawa, tetapi episentrum utamanya tentu tetap di Jakarta.

Maka, meskipun Jakarta adalah miniatur persoalan bangsa yang tentu lebih menantang bagi siapapun gubernurnya, tetap saja Pilgub Jakarta menjadi daya tarik lebih bagi siapapun yang ingin beradu nasib—tentu dengan berbagai niatan dan maksud politik masing-masing. Salah satu niatan politik yang muncul—sejak suksesnya karir politik Presiden Jokowi, Gubernur Jakarta adalah tangga politik untuk naik ke kursi Presiden Indonesia. Itu sebabnya, Pilgub Jakarta 2017 menjadi seakan-akan berasa sebagai pertarungan pemanasan Pilpres 2019. Paling tidak, ada hitung-hitungan Pilpres 2019, yang ikut mempengaruhi kalkulasi penentuan koalisi dan calon gubernur Jakarta 2017.

Saya bukan ahli politik, karena itu catatan Kamisan ini jangan dianggap terlalu akademik. Ini bacaan ringan, untuk melihat dari sisi orang biasa, yang tidak terlalu paham teori politik, tetapi sedikit tahu dan pernah berada di pusat kekuasaan politik, paling tidak di sekitaran presiden pada era 2008 hingga 2014. Walaupun, sejak diangkat mulai Mei 2016 selaku Guru Besar Tamu di Fakultas Sosial—selain Fakultas Hukum—di Universitas Melbourne, dan baru akan berakhir pada ujung Desember 2017, saya mau-tidak-mau harus pula mempelajari dan mengetahui lebih banyak soal-soal politik.

Faktor 1: Relasi Megawati-PDI Perjuangan dengan SBY-Demokrat


Yang pasti, ketika kita bicara tangga politik, maka ia tidak hanya naik ke 2019 tetapi juga turun ke pilpres 2014, bahkan 2009, atau lebih jauh ke 2004. Kenapa 2004 dan 2009 masih menjadi bagian yang mempengaruhi politik kita ke depan? Saya menduga, pilpres 2004 dan 2009—dilanjutkan dengan dinamika politik 2004 hingga 2014—akan terus mempengaruhi relasi Partai Demokrat dan PDI Perjuangan. Tidak bisa dihindari, relasi koalisi kepartaian kita tidak hanya institusional, tetapi juga personal. Kekalahan Megawati-PDI Perjuangan atas SBY-Demokrat di Pilpres 2004 dan 2009, tidak akan mudah terlupakan demikian saja oleh Ibu Megawati. Demikian pula halnya, sikap oposan tanpa kompromi PDI Perjuangan pada era pemerintahan 2004 – 2014, akan selalu terpatri diingatan Pak SBY.

Maka, meskipun di pemilu kepada daerah lainnya, Demokrat dan PDI Perjuangan mungkin saja berkoalisi, tetapi hal demikian masih sulit terjadi pada level Pilgub Jakarta, sebagaimana tidak terjadinya koalisi Megawati-PDI Perjuangan dengan SBY-Demokrat dalam Pilpres 2004, 2009 dan 2014. Sebenarnya, menjelang Pilpres 2014, saya tahu persis banyak pihak yang mendambakan dan mendorong ada koalisi besar PDI Perjuangan dan Demokrat untuk mengusung satu calon presiden. Para pembayang itu memikirkan jika Pak SBY dan Ibu Megawati duduk bareng, berjabat tangan, bersatu untuk satu capres—maka kharisma dan modal politik yang dimiliki keduanya adalah kekuatan maha dahsyat yang sulit dikalahkan oleh capres manapun. Namun, pembayang memang hanya bisa melihat bayang-bayang, yang pasti bukan kenyataan.

Maka Pilpres 2014 tidak ada koalisi PDI Perjuangan dan Demokrat, dan masih belum akan terjadi pada Pilgub Jakarta 2017, dan agaknya masih belum akan ada koalisi pada Pilpres 2019. Jadi, setelah Megawati-PDI Perjuangan dipastikan mendukung Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok, maka dapat diduga, SBY-Demokrat akan mendukung calon lain selain Ahok.

Faktor 2: Megawati-PDI Perjuangan-Jokowi dengan Prabowo-Gerindra-Ahok


Sebenarnya, ada sejarah dimana peta koalisi Pilgub DKI Jakarta berubah tajam menjelang Pilpres. Dalam Pilgub Jakarta 2012, Megawati-PDI Perjuangan berkoalisi erat dengan Prabowo-Gerindra untuk mendukung Jokowi-Ahok. Saat itu Jokowi adalah kader PDI Perjuangan, dan Ahok masih kader Gerindra. Namun, koalisi erat dan jabat tangan hangat Megawati-Prabowo yang sempat berlanjut setelah menjadi pasangan Capres-Cawapres 2009 itu lenyap, ketika Megawati-PDI Perjuangan memilih mendukung Jokowi sebagai Capres, ketimbang Prabowo yang akhirnya menjadi penantangnya di Pilpres 2014. Apalagi, Prabowo merasa dikhianati dengan perjanjian Batu Tulis 16 Mei 2009, yang butir ke tujuhnya berbunyi, "Megawati Soekarnoputri mendukung pencalonan Prabowo Subianto sebagai calon presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014".

Dalam perjalanannya, perpecahan sekutu menjadi seteru antara Megawati-PDI Perjuangan-Jokowi dengan Prabowo-Gerindra-Ahok makin tajam setelah Prabowo kalah tipis dari Jokowi di pertarungan tajam Pilpres 2014. Perseteruan bertambah dalam ketika Ahok yang menggantikan Jokowi menjadi Gubernur Jakarta pun meninggalkan Partai Gerindra. Maka, dalam relasi perseteruan dan pertarungan demikian, menjadi sulit membayangkan adanya koalisi Megawati-PDI Perjuangan dengan Prabowo-Gerindra dalam Pilgub Jakarta 2017, pun masih tidak mudah terjadi koalisi demikian dalam Pilpres 2019.

Faktor 3: SBY dan Prabowo


Pilgub Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 juga akan dipengaruhi apakah sekutu Jokowi dengan Megawati di 2014, tidak akan berubah menjadi seteru di 2019.

Pilgub Jakarta sekarang menurut perkiraan saya akan terjadi maksimal dalam dua atau tiga pasangan calon saja. Satu pasangan adalah Ahok-Djarot yang didukung PDI Perjuangan, Nasdem, Hanura dan Golkar. Tiga partai awal adalah pendukung capres Jokowi dalam Pilpres 2014, dengan Golkar menyeberang dari kubu Prabowo. Sedangkan, apakah akan ada satu ataukah dua pasangan gubernur lainnya akan tergantung komunikasi politik SBY dengan Prabowo. Jika SBY dan dan Prabowo sepakat berkoalisi, maka Pilgub Jakarta 2017 kemungkinan hanya akan head-to-head antara Megawati-Ahok dengan SBY-Prabowo-Non-Ahok. Namun, jika SBY dan Prabowo tidak bersepakat, maka akan ada tiga koalisi cagub Jakarta, yaitu koalisi pendukung Ahok utamanya dipimpin Megawati, koalisi kedua yang dipimpin SBY, dan koalisi ketiga yang dikomandani Prabowo.

Ada dua faktor yang menurut saya mempengaruhi berkoalisi atau tidaknya SBY dan Prabowo. Pertama, adalah kesamaan pandangan atas kekuatan calon gubernur yang diprediksi dapat mengalahkan Ahok; dan kedua, potensi koalisi untuk capres 2019. Faktor kedua, meskipun terbuka peluangnya, tetap masih terlalu dini untuk dikunci atau disepakati sebagai kesepakatan politik. Sedangkan untuk faktor yang pertama, hasil survei calon gubernur akan menjadi salah satu tolak ukur utama. Jika SBY dan Prabowo memiliki keyakinan yang sama pada figure satu calon, berdasarkan hasil survei dan hitung-hitungan politik lainnya, maka koalisi SBY-Prabowo dalam Pilgub 2017 akan menghadirkan dua cagub saja yang akan saling berhadap-hadapan.

Persoalannya, agaknya kesamaan calon penantang petahana ini sulit mengkristal. Prabowo-Gerindra (dan PKS) telah lebih dahulu mengusung Sandiaga Uno sebagai cagub, sedangkan SBY-Demokrat (dan PAN, PKB, PPP) agaknya belum yakin Sandi bisa menjadi penantang yang cukup tangguh untuk Ahok, yang masih leading dalam berbagai jajak pendapat. Prabowo ngotot cagubnya Sandi dan membuka peluang cawagubnya, sedangkan SBY lebih menerima Sandi sebagai cawagub, sedangkan cagubnya lebih memilih kader Demokrat atau paling tidak punya kedekatan sendiri dengan Partai Demokrat.

Pilpres 2014 menghadirkan satu persoalan serius ketika Demokrat tidak memiliki kader untuk dicalonkan, dan hal itu tidak diharapkan terulang di tahun 2019. Maka, Pilgub Jakarta 2017 akan menjadi batu tes bagi kader Demokrat yang mungkin bisa naik untuk Pilpres 2019. Sependek yang saya ketahui, nama cagub koalisi empat partai dengan dipimpin SBY-Demokrat berkutat pada tiga nama, Anies Baswedan, Yusril Ihza Mahendra dan Agus Harimurti Yudhoyono, nama yang terakhir adalah putra sulung Presiden SBY.

Nama Anies Baswedan sebenarnya lebih didorong oleh Pak SBY, salah satunya karena kedekatan Demokrat dan Anies yang sempat terjalin ketika yang bersangkutan ikut Konvensi Capres Demokrat. Nama Yusril lebih disodorkan tiga partai yang lain, PAN, PPP dan PKB. Sedangkan nama Agus muncul sebagai alternatif ketiga. Semuanya masih dinamis, dan baru akan mengkristal sore ini, atau pada detik-detik akhir pendaftaran Pilgub DKI.

Saya sendiri melihat dari ketiga nama itu, Anies Baswedan seharusnya adalah figur yang lebih tepat—dan sebenarnya menarik jika disandingkan dengan Sandi Uno sebagai Cawagub, sehingga akan terjadi head to head Ahok-Djarot dan Anies-Sandi. Namun, Anies kelihatannya tidak mempunyai modal uang yang cukup untuk membiayai kampanyenya, suatu syarat yang sayangnya masih menjadi salah satu syarat tidak tertulis utama dalam pemilu di tanah air. Nama Yusril saya khawatirkan dapat makin meningkatkan sentimen keagamaan antara islam dan non-muslim, yang tidak sehat bagi Pilgub Jakarta, dan demokrasi di tanah air. Sedangkan nama Agus Yudhoyono adalah alternatif yang menarik, namun pertanyaannya apakah memang sudah tiba saatnya bagi karir politik sang Putra Mahkota? Mas Agus adalah militer aktif yang belum pernah masuk kancah politik praktis, namun tentu mewarisi darah genetik-politik SBY yang sudah sangat jelas terbukti kualitasnya.

Faktor 4: Relasi Megawati dengan Jokowi


Faktor lain yang mempengaruhi pertarungan politik Pilgub Jakarta 2017 dan Pilpres 2019 adalah hubungan Megawati dan Jokowi. Saat ini hubungan keduanya masih dalam satu perahu, masih bersekutu, belum berseteru. Karenanya, arah dukungan Megawati-PDI Perjuangan dalam Pilgub Jakarta 2017 masih sejalan dengan Presiden Jokowi kepada Ahok. Arah sejalan itu makin kuat setelah keinginan Megawati agar Budi Gunawan menjadi KaBIN dipenuhi oleh Presiden Jokowi.

Namun, peluang relasi Megawati berubah dari sekutu menjadi seteru tetap terbuka, utamanya jika dalam beberapa waktu ke depan Jokowi bergerak di luar arah keinginan Megawati. Meski sejauh ini Presiden Jokowi tetap berusaha menjaga relasi kongsi dengan Megawati, Jokowi pun sudah mulai berhitung jika ditinggalkan Megawati-PDI Perjuangan, dan telah bergerak menyiapkan partai alternatif yang bisa mendukungnya dalam Pilpres 2019. Gerakan Partai Golkar yang sudah sangat awal mendukung Jokowi sebagai capres 2019, adalah sekoci politik tersebut. Jika kongsi Megawati dan Jokowi terpecah, maka capres PDI Perjuangan akan bergeser kepada calon lain. Di antara yang berpotensi misalnya adalah Ibu Tri Rismaharini yang mungkin akan melalui tangga politik Gubernur Jawa Timur, atau Ganjar Pranowo yang telah menapaki tangga Gubernur Jawa Tengah.

Faktor 5: Duitokrasi


Last but not least, faktor yang selalu mempengaruhi pemilu di tanah air adalah kepentingan bisnis alias duit, itulah yang saya sebut duitokrasi. Sebagai negara terburuk ketiga dalam hal kesenjangan ekonomi menurut Bank Dunia, dimana satu persen orang terkaya menguasai lebih dari separuh kekayaan se-Indonesia raya, atau sepuluh persen orang terkaya menguasai hampir delapan puluh persen kekayaan nasional, maka potret politik Indonesia juga akan sangat dipengaruhi sedikit.

Faktor duit ini tidak semua didiskusikan terbuka, tetapi menjadi salah satu faktor penentu kemana arah dukungan politik akhirnya dialirkan. Konon, nama Anies Baswedan meredup sebagai calon gubernur, salah satunya karena mantan Rektor Universitas Paramadina itu tidak mempunyai cukup modal uang kampanye, atau "kurang gizi" menurut istilah Nurcholish Madjid sebagai pendiri Paramadina.

Itulah lima faktor yang mempengaruhi arah politik, perkoalisian, perkongsian, persekutuan dan perseteruan di Pilgub DKI 2017, yang berdampak pula pada peta Pilpres 2019. Masih terlihat, bahwa politik dan pemilu di Indonesia masih lebih dipengaruhi oleh relasi personal dan hubungan finansial. Sebenarnya, keduanya tidak sehat bagi arah demokrasi. Kita harus terus berusaha menggeser sistem poltitik di Indonesia dari bersandar pada figur-personal menjadi pada struktur-institusional; dan dari demokrasi yang dipengaruhi oleh duitokrasi, menjadi dipengaruhi oleh meritokrasi. Karena, jika kita gagal merubahnya, maka demokrasi kita akan cenderung langgeng morat-marit.

Keep on fighting for the better Indonesia. []

DETIK, 22 September 2016
Denny Indrayana | Guru Besar Hukum Tata Negara UGM, Visiting Professor pada Melbourne Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne
Previous
Next Post »
Posting Komentar
Thanks for your comment